Sabtu, 11 Agustus 2007

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang banyak menyimpan ekosistem yang bernilai ekonomis penting, namun dalam pengelolaannya sumberdaya ekosistem pesisir lambat laun akan mengalami degradasi karena dalam mengeksploitasi, masyarakat sekitar melebihi kemampuan ekosistem tersebut dalam memperbaharui diri. Eksploitasi berlebihan ini akan menimbulkan dampak yang sangat tidak kita inginkan, seperti kerusakan hutan mangrove sebagai dampak dari pemanfaatan kayu dari mengrove sebagai bahan bangunan, kayu bakar, lahan atau lokasi tambak serta perluasan pemukiman.
Masyarakat pesisir Maluku Utara dama pemanfaatan sumberdaya ekosisrtem wilayah pesisr masih kurang memahami pemanfaatan yang sustainable. Hal ini terlihat lebih jelas dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang membabi buta dengan mengutamakan keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak yang terjadi kemudian. Maka konsepsi dan strategi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perlu untuk di kaji bersama dari semua kalangan, agar dapat penyeimbangan dalam hal pemanfaatan sumbedaya yang lestari serta lebih baik lagi.
Menurut Sutrisno A. (2005) menyatakan bahwa konsep keterpaduan dalam pengelolaan kawasan pantai meliputi keterpaduan antar lembaga/sektor, keterpaduan antar pemerintah/kewenangan, keterpaduan antar darat dengan laut, dan keterpaduan antar sains dan manajemen. Demikian halnya kawasan hutan mangrove yang merupakan bagian integral dari kawasan pantai, maka keterpaduan tersebut mencakup antara lain :
Keterpaduan antar lembaga/sektor sangat diperlukan agar tidak terjadi tumpang tindih, ketidaksesuaian program dan sasaran yang ingin dicapai dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove. Adanya Forum komunikasi di tingkat Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota sangat diperlukan untuk mensinkronkan dan mensinergikan program yang ingin dicapai.
Secara historis, penyebaran dan peningkatan jumlah penduduk yang menguasai kawasan pantai di Indonesia dimulai oleh para pedagang/nelayan atau para penyiar agama yang sering berlayar baik dari negara lain maupun yang berpindah-pindah dari pulau yang satu ke pulau-pulau lainnya. Secara berangsur-angsur sebagian dari mereka menetap dan menguasai lahan pada kawasan pantai yang diantaranya berupa hutan mangrove. Sampai saat ini sulit untuk melakukan pendataan kepemilikan lahan di kawasan pantai, karena sejarah, kondisi sosial-budaya dan faktor lain yang mengakibatkan masyarakat tradisional penghuni pantai berpindah-pindah. Pada perkembangan kepemukiman masyarakat pantai tersebut, saat ini perubahan status fungsi dan kepemilikan kawasan pantai dan hutan mangrove di wilayah-wilayah pesisir dihadapkan pada masalah-masalah belum adanya pengaturan oleh pemerintah tentang status kepemilikan lahan, pengerukan dan reklamasi muara sungai dan pantai.
Berbagai bentuk bentang alam kawasan pantai, termasuk tipe hutan mangrove yang tumbuh di sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi pasang surut perpaduan air sungai dan air laut yang mengandung garam. Pada dasarnya kawasan pantai merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiografis kawasan ini didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi oleh pasang-surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian (% lereng) pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas, dan kadang bercampur kerikil.

Ruang kawasan pantai merupakan ruang wilayah diantara ruang daratan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan terletak diatas dan dibawah permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Sedangkan ruang lautan terletak diatas dan dibawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis laut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya.
Pantai merupakan daerah datar, atau bisa bergelombang dengan perbedaan ketinggian tidak lebih dari 200 m, yang dibentuk oleh endapan pantai dan sungai yang bersifat lepas, dicirikan dengan adanya bagian yang kering (daratan) dan basah (rawa). Garis pantai dicirikan oleh suatu garis batas pertemuan antara daratan dengan air laut. Oleh karena itu, posisi garis pantai bersifat tidak tetap dan dapat berpindah (walking land atau walking vegetation) sesuai dengan pasang-surut air laut dan abrasi pantai atau pengendapan lumpur.
Secara umum dapat dimengerti bahwa bentuk/tipe kawasan pantai, jenis vegetasi, luas dan penyebaran hutan mangrove tergantung kepada karakteristik biogeografi dan hidrodinamika setempat. Berbagai kawasan pantai di Indonesia memiliki persamaan dan atau perbedaan atas faktor-faktor iklim, temperatur air, tingkat sedimentasi, tingkat pasang surut air, relief, pelindung dari pengikisan ombak dan angin, salinitas air dan sejarah geologis. Oleh karenanya, terdapat berbagai kemampuan lahan dan kesesuaian penggunaannya.
Berdasarkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk memperbaharui (assimilative capacity), serta kesesuaian penggunaannya, kawasan pantai dan hutan mangrove menjadi sasaran atas kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung lebih menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat/keuntungan ekonomis diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan/ekologis yang ditimbulkannya. Begitu pula sebaliknya, bila semakin sedikit manfaat/keuntungan ekonomis, semakin ringan pula kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Dampak-dampak lingkungan tersebut dapat diidentifikasi dengan adanya degradasi pantai dan semakin berkurangnya luas hutan mangrove, yang secara fisik kerusakan-kerusakan lingkungan yang diakibatkannya berupa erosi pantai/abrasi, intrusi air laut, hilangnya sempadan pantai serta menurunnya keanekaragaman hayati serta musnahnya habitat dan satwa-satwa tertentu.







Tidak ada komentar: